Daftar Nama Mantan Pimpinan

DAFTAR NAMA MANTAN PIMPINAN

mslhoksukon

Berikut adalah daftar Nama Pimpinan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon dari masa ke masa :

No  Nama  Periode
1 Tgk. H. M. Amin 1967 s.d 1981
2 Drs. H. M. Saleh Puteh, S.H 1982 s.d 1990
3 Drs. H. M. A. Banta Hajad 1990 s.d 1998
4 A. Raman Rani, S.H 1998 s.d 2003
5 Drs. Salahuddin Mahmud 2003 s.d 2006
6 Drs. A. Hamid Saleh, S.H 2006 s.d 2008
7 Drs. H.M. Anshary, MK, S.H, M.H 2008 s.d 2010
8 Drs. Misharuddin 2010 s.d 2012
9 Drs. Zulkifli Siregar, S.H, M.H 2012 s.d 2014
10 Drs. Al azhary S.H, M.H. 2014 s.d 2017
11 Drs. M. Wali Syam 2017 s.d 2020
12 Sayyed Sofyan S.H.I, M.H 2020 s.d 2023
13 Ridho Setiawan, S.H.I., M.E.Sy
2023 s.d 2024
14 Zulfikri,S.H.I, M.H 2024 s.d 2025
15 Muzakir, S.H.I., M.H.
2025 s.d sekarang

Sejarah Pengadilan

SEJARAH PENGADILAN

mslhoksukon

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipegang oleh Qadli Malikul Adil yang berkedudukan di Ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli Malikul Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya.

Qadli Malikul Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Karena perkara yang diajukanke Qadli MalikulAdil tidak banyak, maka Qadli Malikul Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan.

Zaman Hindia Belanda

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada pengadilan yang bernama Musapat yang dikepalai oleh Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya hanyabersangkutan dengan hukum agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli Uleebalang dimaksud.

Zaman Pendudukan Jepang

Zaman pendudukan Jepang, keadaan peradilan agama di Indonesia tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh Pemerintah Jepang.

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan Undang-Undang yang bernama Atjeh Syu Rei (Undang-Undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Pebruari 1944) tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, yakni :

  1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh)
  2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten)
  3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son (Kecamatan)

Zaman Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946 telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, antara lain di daerah Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua Mahkamah Syar’iyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad Hasan yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja DPR dan akhirnya menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah Aceh memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya PPNo.29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari 17 tokoh Ulama Aceh kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam Surat Pernyataan yangmeminta kepada Departemen Agama agar memperjuangkan dasar hukum Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh.

PP No. 29 Tahun 1957tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerah mereka juga dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan PPNo.45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura.

Dengan demikian jelaslah bahwa Aceh merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa sejak awal zaman kemerdekaan hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti nama, mulai dari Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh dan terakhir Mahkamah Syar’iyah Aceh.

Era Otonomi Khusus

Dengan lahirnya UUNo.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Acehtelah terjadi sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Aceh dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari’at Islam di Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1424 Hijriyah oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manandengan dihadiri Menteri Dalam Negeri Sabarno, Menteri Agama Said Agil Husin Almunawar dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.

Adapun kewenangan Mahkamah Syar`iyah adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Ditambah dengan perkara jinayat yang terdiri dari Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (judi) dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum).

Ketua MS Lhoksukon Mengudara di RRI Lhokseumawe

Ketua MS Lhoksukon Mengudara di RRI Lhokseumawe

Ketua MS Lhoksukon Mengudara di RRI Lhokseumawe

Lhoksukon (01-12-2020 ) | Ketua Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Sayyed Sofyan, SH.I, MH memenuhi undangan dari Kepala RRI Lhokseumawe untuk mengisi acara dialog Interaktif dengan Tema ” Mengulas Lebih Dalam Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ” pada hari Selasa 01 Desember 2020 Pukul : 09:00 – 10:00 Wib, selain ketua Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon juga ada diundang Pakar Hukum DR. Yusrizal, SH, MH. Acara ini juga dapat disaksikan di Live di Youtube dengan link khusus. Sesuai dengan keinginan Kepala RRI Lhokseumawe dan Ketua MS Lhoksukon agar bisa memberikan informasi yang akurat terhadap masyarakat dalam berbagai hal salah satunya tentang Mahkamah Syar’iyah , selama ini masyarakat dipedesaan menganggap Mahkamah Syar’iyah sebagai kantor untuk melakukan perceraian saja padahal masih banyak lagi kewenangan lainnya yang lebih penting seiring dengan disahkannya Qanun Jinayat di Provinsi Aceh.

Acara ini juga ada sesi tanya jawab dari pemirsa terhadap nara sumber, Penjelasan dari narasumber semoga dapat memberikan wawasan baru kepada masyarakat dan juga pemerintah daerah sehingga semakin paham terhadap eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Aceh ini dan perlu juga didukung oleh Pemerintah Daerah maupun Provinsi untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat terutama di Kabupaten Aceh Utara dimana angka Perceraian saat ini masih yang tertinggi diseluruh Aceh begitu juga kasus pelanggaran terhadap Qanun Jinayat dan akhirnya semoga kedepannya angka perceraian dan pelanggaran Qanun Jinayat di Kabupaten Aceh Utara dapat menurun.

Ketua MS Aceh berkunjung ke MS Lhoksukon

Ketua MS Aceh berkunjung ke MS Lhoksukon

Ketua MS Aceh berkunjung ke MS Lhoksukon

Lhoksukon ( 27/11/2020 ) | Pada hari Kamis Tanggal 26 Nopember 2020 Pukul 09:30 Wib Ketua Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Dra.Hj. Rosmawardhani, SH, MH beserta rombongan tiba di Kantor Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon untuk pertama kalinya sejak menjabat menjadi Ketua MS Aceh.  Berdasarkan Surat Tugas No:W1-A/2905/PS.04/XI/2020 Tanggal 24 November 2020 dalam rangka Pembinaan pada Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Selain ibu ketua juga ada Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi hasil pengawasan serta pembinaan sebagai Ketua Tim Drs.H. Darmansyah Hasibuan, SH,MH, Drs. Syafruddin sebagai Sekretaris  dan anggota Abd. Latif, SH,MH dan Drs. Sabri, SH.

Selain berkunjung ke Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon, Ketua MS Aceh juga menyempatkan diri untuk silaturrahmi dengan Bupati Aceh Utara H.M. Thaib di Pendopo Bupati Di Lhokseumawe. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini berlangsung selama 2(dua) hari mulai dari hari Kamis s/d dengan Jum’at hari ini. Pukul 10:00 Wib tepat dilaksanakan Expose oleh Ketua Tim namun sebelum acara tersebut dimulai diadakan Ikrar 8 (delapan) Nilai Utama Peradilan yang dibawakan oleh Sdr Nova Idea Matondang, SE, MS.I.