Sejarah Pengadilan

SEJARAH PENGADILAN

sejarah

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipegang oleh Qadli Malikul Adil yang berkedudukan di Ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli Malikul Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya.

Qadli Malikul Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Karena perkara yang diajukanke Qadli MalikulAdil tidak banyak, maka Qadli Malikul Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan.

Zaman Hindia Belanda

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada pengadilan yang bernama Musapat yang dikepalai oleh Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya hanyabersangkutan dengan hukum agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli Uleebalang dimaksud.

Zaman Pendudukan Jepang

Zaman pendudukan Jepang, keadaan peradilan agama di Indonesia tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh Pemerintah Jepang.

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan Undang-Undang yang bernama Atjeh Syu Rei (Undang-Undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Pebruari 1944) tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, yakni :

  1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh)
  2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten)
  3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son (Kecamatan)

Zaman Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946 telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, antara lain di daerah Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua Mahkamah Syar’iyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad Hasan yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja DPR dan akhirnya menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah Aceh memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya PPNo.29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari 17 tokoh Ulama Aceh kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam Surat Pernyataan yangmeminta kepada Departemen Agama agar memperjuangkan dasar hukum Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh.

PP No. 29 Tahun 1957tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerah mereka juga dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan PPNo.45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura.

Dengan demikian jelaslah bahwa Aceh merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa sejak awal zaman kemerdekaan hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti nama, mulai dari Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh dan terakhir Mahkamah Syar’iyah Aceh.

Era Otonomi Khusus

Dengan lahirnya UUNo.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Acehtelah terjadi sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Aceh dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari’at Islam di Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1424 Hijriyah oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manandengan dihadiri Menteri Dalam Negeri Sabarno, Menteri Agama Said Agil Husin Almunawar dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.

Adapun kewenangan Mahkamah Syar`iyah adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Ditambah dengan perkara jinayat yang terdiri dari Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (judi) dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum).

Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Aceh Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan

I. ZAMAN KESULTANAN ISLAM

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipegang oleh “Qadli Malikul ‘Adil” yang berkedudukan di ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli malikul ‘Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya. Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul ‘Adil.

Qadli Malikul ‘Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Karena perkara yang dibanding ke Qadli Malikul’Adil tidak banyak, maka Qadli Malikul ‘Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan.

II. ZAMAN HINDIA BELANDA

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada pengadilan yang bernama “Musapat’ yang dikepalai oleh Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya melulu bersangkutan dengan hukum agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli Uleebalang dimaksud.

Perlu diketahui pula bahwa dalam sidang peradilan Musapat, agar sah maka harus ada Ketua, sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan ada seorang Ulama Islam. Bila menyangkut kasus pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumi putera.

III. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

Zaman pendudukan Jepang, keadaan peradilan Agama di Indonesia tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh Pemerintah pendudukan Jepang.

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama “Atjeh Syu Rei” ( Undang-undang Daerah Aceh ) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 ( 15 Pebruari 1944 ) mengenai Syukyo Hooin ( Mahkamah Agama ).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, yakni :

  1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh);
  2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu ( Kabupaten sekarang );
  3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son ( kecamatan sekarang ).

Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan Kepala Qadli dan Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.

Syukyo Hooin terdiri dari anggota-angota harian dan anggota-angota biasa. Salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua ( Iintyo ) oleh Atjeh Syu Tyokan berdasarkan unjukan/ rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh.

Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syukyo Hooin adalah Tgk.H.Ja’far Shiddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah : Tgk.Muhammad Daud Beureu-eh dan Tgk.Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy serta Said Abubakar.

IV. ZAMAN REVOLUSI FISIK HINGGA KEMBALI KE NEGARA KESATUAN RI.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946, sebagai salah satu hasil revolusi kemerdekaan, telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, antara lain di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua Mahkamah Syar’iyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad Hasan, yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Adapun mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh saat itu awalnya didasarkan kepada Kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera yang ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di Kutaraja Nomor 896/3/djaps yang intinya bahwa hak Mahkamah Syar’iyah memutus soal-soal tentang :

  1. Nikah, thalaq, rujuk, nafkah dsb.;
  2. Pembahagian pusaka ( kewarisan );
  3. Harta wakaf, hibah, sedeqah dan selainnya;
  4. Baitul mal.

Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Badan Pekerja DPR Aceh telah menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35, yang intinya sebagai berikut :

  1. Menguatkan Instruksi Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tentang hak Mahkamah Syar’iyah, yaitu memutuskan :
    1. perkara nikah, thalaq, rujuk dan nafkah;
    2. pembahagian pusaka;
    3. memutuskan harta wakaf, hibah dan sedekah;
    4. memutuskan Baitul Mal.
  2. Vonnis-vonnis yang bersangkutan ini dipandang serupa kekuatan vonnis Hakim Negeri.
  3. Buat sementara menunggu ketentuan dari Propinsi, maka urusan perail harta pusaka ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syar’iyah dan tidak lagi menjadi hak Hakim Rendah atau Hakim Negeri.

Untuk menjalankan urusan ini diserahkan kepada Kepala Jawatan Agama Daerah Aceh.

Ada tiga tingkatan Mahkamah Syar’iyah di Aceh pada era awal kemerdekaan hingga lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tanggal 10 Agustus 1957, yakni :

  1. Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh sebagai Pengadilan tertinggi dan tingkat terakhir yang berkedudukan di Kutaraja.
  2. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan sebagai Pengadilan tingkat banding sebanyak 20 buah yang berada di seluruh daerah Kewedanaan yang ada di Aceh saat itu.
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian sebagai Pengadilan tingkat pertama sebanyak 106 buah yang berada di setiap daerah Kecamatan yang ada di Aceh saat itu.

Adapun nama-nama Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan dan Kenegerian dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mesjid Raya;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ingin Jaya;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tungkop;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Raya;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Baro;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Imarah;
  7. Mahkamah Syar’iyah Lho’nga;
  8. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peukan Bada;
  9. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lhoung.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Seulimum, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Seulimum;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Suka Makmur;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Montasik;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indrapuri.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sigli, membawahi 11 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peukan Baro;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pidie;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Tiga;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kembang Tanjong;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mutiara;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Tiga;
  7. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Delima;
  8. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Baro;
  9. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Geulumpang Tiga;
  10. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indra Jaya;
  11. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Padang Tiji.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kota Bakti, membawahi 6 Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sakti;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Titue;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mila;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tangse;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Geumpang;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tiro.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meureudu, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meureudu;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trienggadeng;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pantee Raja;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Dua.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bireuen, membawahi 6 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeumpa;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peusangan;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ganda Pura;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peudada;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeunib;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samalanga.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lhok Seumawe, membawahi 7 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samudera;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Syamtalira;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Dua;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Dewantara;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Makmur;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meurah Mulia;
  7. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Batu.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lho’ Sukon, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lhok Sukon;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Matangkuli;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blang Jrun;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Aron;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeurat Manyang ( Tanah Pasir)
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Alu Ie Puteh ( Baktya );
  7. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sidondon;
  8. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jambo Air.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Idi, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Idi Rayek;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Aman;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kota Meulati ( Julok );
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Ulim.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Langsa, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Langsa;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rantau Selamat;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peureulak;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lokop.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kuala Simpang, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu  :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuala Simpang;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Karang Baru;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hulu;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hilir.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Takengon, membawahi 2 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Linggo;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Nosar.

Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kutacane, membawahi 2 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tanah Luas;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulo Nas.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Blangkejeren, membawahi 1 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Gayo Luas.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Calang, membawahi 5 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Teunom;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Sabee;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Setia Bakti;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sampoi Niet;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jaya.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meulaboh, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Seunagan;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kaway XVI;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samatiga;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Buloh;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tungkup;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Beutong;
  7. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tripa;
  8. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Dayah.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sinabang, membawahi 3 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Timur;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Tengah;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Barat.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Tapaktuan, membawahi 10 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samadua;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sawang;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meukek;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Labuhan Haji;
  5. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Manggeng;
  6. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blangpidie;
  7. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tangan-Tangan;
  8. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Susoh;
  9. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Inong;
  10. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tapaktuan.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bakongan, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bakongan;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kandang;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rasian ( Klut Utara );
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trumon.

Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Singkil, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

  1. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Singkil;
  2. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Kanan;
  3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Kiri;
  4. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulau Banyak.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah baru memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari tokoh-tokoh Ulama Aceh saat itu kepada pemerintah pusat ( Departemen Agama ) di Jakarta yang dituangkan dalam suatu Surat Pernyataan, ditandatangani 17 orang tokoh Ulama Aceh yang kebetulan bekerja pada kantor-kantor dalam lingkungan Departemen Agama. Inti dari pernyataan dimaksud adalah : Mengharap/meminta kepada Kementerian Agama agar memperjuangkan dasar hukum ( Status ) Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh dengan bersungguh-sungguh hingga tercapai, walaupun dengan jalan menyimpang ( afwijken ) dari prosedure biasa.

Setelah lahirnya PP No. 29 Tahun 1957, Mahkamah Syar’iyah Kenegerian dihilangkan, sedangkan Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama.

Peraturan Pemerintah tersebut tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerah mereka juga dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Akhirnya tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura. Dengan demikian jelaslah bahwa Daerah Aceh sekali lagi merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di indonesia.

Penghapusan kembali Mahkamah Syar’iyah Kenegerian yang pernah ada di ibukota Kecamatan di Aceh disebabkan adanya ketentuan dalam PP Nomor 29 tahun 1957, yakni pasal 1 dimana Pengadilan Agama ( Mahkamah Syar’iyah ) ada di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri. Sedangkan Pengadilan negeri saat itu hanya ada di kabupaten/kota.

Perlu diketahui pula bahwa sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun1957, di Aceh hanya tinggal 16 buah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang dikukuhkan dengan Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58/1957 sebagai pelaksanaan PP nomor 45 tahun 1957. Ke enam belas Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. PA/Masya Kutaraja ( sekarang Banda Aceh );
  2. PA/Masya Sabang;
  3. PA/Masya Sigli;
  4. PA/Masya Bireuen;
  5. PA/Masya Lhoksukon;
  6. PA/Masya Idi
  7. PA/Masya Langsa;
  8. PA/Masya Kualasimpang;
  9. PA/Masya Takengon;
  10. PA/Masya Blangkejeren;
  11. PA/Masya Kutacane;
  12. PA/Masya Calang;
  13. PA/Masya Meulaboh;
  14. PA/Masya Sinabang;
  15. PA/Masya Tapaktuan;
  16. PA/Masya Singkil.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 62/1961, sejak tanggal 25 Juli 1961 dibentuk sebuah cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Lhok Seumawe yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Sebelas tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Maret 1972 dibentuk pula sebuah lagi cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Meureudu yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Sigli. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18/1975, kedua cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah penuh terlepas dari instansi induknya.

Terakhir berdasarkan Keputusan Menteri Agama pula, pada tahun 1984 telah dibentuk satu lagi Pengadilan Agama di Jantho ibukota Kabupaten Aceh Besar yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dengan demikian hingga saat ini di seluruh Aceh terdapat 19 buah Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Negeri hanya ada 18 buah di seluruh wilayah Aceh, dimana di Meureudu tidak ada Pengadilan Negeri.

Perlu diketahui pula bahwa sejak keluarnya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6/1980, maka penyebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang ada di Luar Jawa dan Madura dan diluar Sebagian Kalimantan Selatan dan Timur, termasuk yang ada di Aceh menjadi “Pengadilan Agama” ( PA ) untuk tingkat pertama dan “Pengadilan Tinggi Agama” ( PTA ) untuk tingkat banding.

Suatu pertanyaan mungkin timbul, mengapa Pemerintah mengatur tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak meliputi Jawa dan Madura. Hal ini karena untuk wilayah Jawa dan Madura telah ada dasar hukum yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda yakni Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl 1937 Nomor 160 dan 610.

Demikian pula untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Timur telah ada aturan yang mengatur tentang Pengadilan Agama yang diberi nama dengan “Kerapatan Qadli” dan “Kerapatan Qadli Besar” sejak zaman Hindia Belanda, yakni Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639.

Bila dibandingkan dengan Pengadilan Agama yang telah ada di Jawa dan Madura sejak tahun 1882 dan Kerapatan Qadli di Sebagian Kalimantan Selatan dan Timur yang lahir sejak tahun 1937, maka kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura termasuk di Aceh jauh lebih luas.

Perlu diketahui pula bahwa sejak awal zaman kemerdekaan RI hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti nama/sebutannya, mulai dari Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh,  Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terakhir Mahkamah Syar’iyah Aceh. Adapun orang-orang yang telah pernah memimpinnya sebagai Ketua secara berurutan adalah sebagai berikut :

  1. H. Ahmad Hasballah Indrapuri, dari tanggal 1 Maret 1946 sampai 30 September 1955.
  2. Muhammad Saleh Lambhuk, dari tanggal 1 Oktober 1955 sampai 31 Desember 1960.
  3. H. Abdullah Ujong Rimba, dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 April 1971.
  4. Tgk. H. Abdul Hamid Irsyad, dari tanggal 1 Mai 1971 sampai 31 Desember 1975.
  5. Zainal Abidin Abu Bakar, SH., dari tanggal 1 Januari 1976 sampai 31Januari 1992.
  6. Drs H. Soufyan M. Saleh, SH., dari tanggal 1 Nopember 2000 sampai 1 Juli 2008
  7. H. M. Saleh Puteh, SH, dari 1 Juli 2008 sampai 18 Maret 2010
  8. H. Idris Mahmudy, SH., MH, dari 18 Maret 2010 sampai 18 Desember 2014
  9. H. Jufri Ghalib, SH., MH, dari 18 Desember 2014 sampai 1 Februari 2018
  10. H. M. Jamil Ibrahim, SH. MH. MM, dari 25 Mei 2018 sampai dengan sekarang

V. ERA OTONOMI KHUSUS BAGI NAD

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terjadilah sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 M/1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

Oleh karena Mahkamah Syar’iyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 19 Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Aceh dan satu Mahkamah Syar’iyah Provinsi selaku pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yakni di Banda Aceh.

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  1. perkawinan;
  2. waris;
  3. wasiat;
  4. hibah;
  5. wakaf;
  6. zakat;
  7. infaq;
  8. shadaqah; dan
  9. ekonomi syari’ah “.

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada pada point 1 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud pada point 2 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :

  1. Bank syari’ah;
  2. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
  3. Asuransi syari’ah;
  4. Reasuransi syari’ah;
  5. Reksa dana syari’ah;
  6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
  7. Sekuritas syari’ah;
  8. Pembiayaan syari’ah;
  9. Pegadaian syari’ah;
  10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
  11. Bisnis syari’ah.

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:

  1. Al-Ahwal al-Syakhshiyah;
  2. Mu’amalah;
  3. Jinayah

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Namun demikian Undang-undang tersebut mengamanatkan pula untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syar’iyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Di era reformasi, semangat dan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam kembali menggema dikalangan rakyat Aceh, disamping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada waktu itu.

Para Ulama dan Cendikiawan muslim semakin intensif menuntut kepada Pemerintah Pusat, agar dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan mengangkat kembali martabat rakyat Aceh supaya diizinkan dapat menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-undang yang sangat penting dan fundanmental, yaitu : Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Masyarakat Aceh menyambut baik lahirnya Undang-undang tersebut dengan penuh rasa syukur.  Selanjutnya Pemerintah Daerah bersama DPRD pada saat itu, bergegas melahirkan beberapa peraturan daerah sebagai penjabaran dari keistimewaan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut yang dapat mewarnai secara nyata Keistimewaan Aceh yang sudah lama dinanti-nantikan, antara lain :

  1. PERDA Nomor 3 Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan Tata  Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU);
  2. PERDA Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam;
  3. PERDA Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan ;
  4. PERDA Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat ;

Pada tahun 2001 Pemerintah Pusat kembali mengabulkan keinginan rakyat Aceh mendapatkan Otonomi Khusus melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara pada tanggal 9 Agustus 2001. Lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 ini terkait erat dan melengkapi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistemewaan Aceh, yaitu dalam upaya membuka jalan bagi pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat di bumi Serambi Mekah.

Salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut adalah diberikan peluang dan hak bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional (Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001).

Menyahuti kelahiran Undang-undang tersebut, Pemerintah Daerah melalui SK Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk beberapa tim yang bertugas menyusun Rancangan Qanun (sekitar 27 Qanun) sebagai aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Salah satu diantaranya adalah tim Penyusun Qanun Pelaksanaan Syari’at Islam  yang dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (kemudian berubah namanya menjadi MPU), Dr Muslim Ibrahim, M.A.

Tim tersebut dibagi lagi kepada beberapa sub tim antara lain :

  1. Tim Rancangan Qanun tentang Mahkamah Syar’iyah, diketuai oleh Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH.
  2. Tim Rancangan Qanun tentang Pelaksanaan Syari’at Islam dibidang ibadah dan syi’ar Islam, dipimpin oleh Dr. H. Muslim Ibrahim, M.A.
  3. Tim Rancangan Qanun tentang Baitul Mal dipimpinn oleh Prof. Dr. H. Iskandar Usman, M. A.

Tim Penyusun Rancangan Qanun Mahkamah Syar’iyah berhasil melaksanakan tugasnya dalam waktu kurang dari 2 (dua) bulan, dan setelah melakukan expose di hadapan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam bersama Tim-Tim lainnya, akhirnya Rancangan Qanun tersebut ditetapkan dengan judul : Rancangan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ”Tentang Peradilan Syari’at Islam”, yang terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal. Setelah disempurnakan, Rancangan Qanun diserahkan kepada Gubernur melalui Kepala Biro Hukum untuk diteruskan ke DPRD Nangggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya pada tanggal 19 November 2001 Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyampaikan Rancangan Qanun Peradilan Syari’at Islam tersebut bersama Rancangan Qanun lainya kepada DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.

Sekitar bulan Maret 2002 Pimpinan Mahkamah Agung RI menugaskan tiga orang Ketua Muda Mahkamah Agung RI ke Aceh, yaitu :

  1. Suharto, SH, -TUADA DATLIS ;
  2. Syamsuhadi, SH., M. Hum. – TUADA UDILAG ;
  3. Toton Suprapto, SH. TUADA ADAT ;

Meraka ingin mengetahui lebih jauh bagaimana sebenarnya upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam menindaklanjutii amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 untuk pembentukan Mahkamah Syar’iyah (pertemuan dilaksanakan di rumah Wakil Gubernur : Ir. H. Azwar Abubakar).

Pada kesempatan lainnya. Untuk menyempurnakan rumusan Rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh atas bantuan USAID, dan bekerjasama dengan Forum Keprihatian Rakyat Aceh (FORKA), telah pula dilaksanakan Semiloka di Jakarta dari tanggal 8 s/d 10 Maret.

Selanjutnya Rancangan Qanun tersebut juga diberikan kritikan demi penyempurnaan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Banda Aceh, seperti Yayasan/Ukhuwah dan PPHIM.

Untuk membahas beberapa Rancangan Qanun yang diajukan Gubernur tersebut, maka DPRD Nanggroe Aceh Darussalam membentuk beberapa Pansus, antara lain : Pansus XV yang diberi tugas antara lain, mendalami/membahas Rancangan  Qanun Peradilan Syari’at Islam. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap pansus XV pada tanggal 2 s/d 7 September 2002 mengadakan konsultasi antara lain dengan Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Agama RI, Mahkamah Agung RI dan beberapa orang anggota DPR-RI asal Aceh (FORBES) di Jakarta.

Selanjutnya pada tanggal 23 oktober 2002, Tim Pemerintah Daerah Aceh yang dipimpin oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. H. Abdullah Puteh, M. Si., mengadakan rapat konsultasi dangan Mahkamah Agung RI dan departemen terkait. Rapat konsultasi berlangsung di Aula Mahkamah Agung RI dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, dengan didampingi oleh wakil Ketua Drs. H. Taufiq, SH. Dalam pertemuan tersebut telah disepakati beberapa hal :

  1. Mahkamah Agung menyetujui agar Mahkamah Syar’iyah di Aceh segera terwujud dan dapat diresmikan pada tanggal 1 Muharram 1424 H;
  2. Pembentukan Mahkamah Syar’iyah adalah tugas eksekutif, karena itu diharapkan Menteri Dalan Negeri dapat mengkoordinir pertemuan-pertemuan dengan Departemen terkait dan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

Menindaklanjuti hasil pertemuan tanggal 23 Oktober 2002 tersebut, Tim Pemerintah Pusat yang dikoordinir Departemen Dalam Negeri mengadakan rapat dengan Tim Pemerintah Daerah Aceh pada tanggal 27 Januari 2003. rapat tersebut dipimpin langsung oleh Sekjen Departemen Dalam Negeri yaitu Dr. Ir. Siti Nurbaya.

Pada pertemuan tersebut, Tim Pemerintah Pusat yang terdiri dari Departemen/Lembaga terkait, yaitu Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Departemen Pertahanan dan Keamanan dll., telah berhasil merumuskan beberapa kesepakatan, antara lain :

  1. Peresmian Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan di Banda Aceh pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M;
  2. Masing-masing Departemen/Lembaga mempersiapkan diri sesuai dengan bidang kewenangannya untuk peresmian Mahkamah Syar’iyah (Kelembagaan Kewenangan, pembinaan sumber daya manusia, dll).
  3. Menjelang hari H (4 Maret 2003) perlu adanya pertemuan lagi yang dijadwalkan sebagai berikut:
  4. Tanggal 5 s/d 8 Februari 2003 Konsinyering Tim Pusat ;
  5. Tanggal 17 Februari 2003 Koordinasi Tim Pust dengan Daerah ;
  6. Tanggal 27 s/d 28 Februari 2003 Cheking terakhir ;

Pada hari senin 24 Februari 2003, Tim Pusat dan Daerah kembali melanjutkan koordinasi di Jakarta mengambil tempat di Depatemen Dalam Negeri. Tim Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota : Husni Bahri Tob, SH (Assisten I), H. Abdussalam Poroh (Sekretaris DPRD), Prof, Dr. Alyasa’ Abubakar, MA (Kadis Syari’at Islam), Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH (Ketua PTA Banda Aceh), A. Hamid Zein, SH (Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Dalam pertemuan tersebut dibahas beberapa masalah substansi antara lain :

  1. Rancangan Kepres tentang Mahkamah Syar’iyah (perubahan Nama, Kewenangan, dll) akhirnya menjadi Kepres Nomor 11 Tahun 2003 ;
  2. Rancangan Peraturan Pemeritah tentang pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (sayang RPP tersebut tidak sempat dibahas karena sempitnya waktu);
  3. Beberapa masalah teknis untuk acara peresmian, (prasasti, peresmian Mahkamah Syar’iyah, Pelantikan Ketua, sambutan dll).

Pelaksanaan Peresmian Mahkamah Syar’iyah

Sesuai dengan rencana semula dan melalui proses persiapan yang panjang akhirnya peresmian Mahkamah Syar’iyah dapat dilaksanakan dalam suatu upacara yang dilangsungkan pada tanggal 1 Muharram 1424 H dan bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003.

Sebagai dasar hukum peresmian Mahkamah Syar’iyah disaat itu adalah Kepres Nomor 11 Tahun 2003, yang pada hari itu dibawa langsung dari Jakarta dan dibacakan dalam upacara peresmian.

Adapun isi kepres tersebut antara lain adalah tentang perubahan nama Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Upacara peresmian dilaksanakan di Gedung DPRD Provinsi. NAD yang dihadiri oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NAD, beserta dihadiri oleh para Menteri dan Tim Pusat, yaitu :

  1. Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH;
  2. Menteri Dalam Negeri, Dr. (HC) Hari Sabarno, S.Ip, MM., MA ;
  3. Menteri Kehakiman dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ;
  4. Menteri Agama, Prof. Dr. Said Agil Husin A-Munawar, MA ;
  5. Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggaraan Haji, H. Taufik Kamil ;
  6. Direktur Pembinaan Peradilan Agama, Drs. H. Wahyu Widiana ;
  7. Wasekjen MARI, Drs. H. Ahmad Kamil, SH, dll;
  8. Sedangkan dari Daerah Kabupaten/Kota, hampir semua Bupati/Walikota hadir bersama para Muspida.

Upacara peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti, masing-msing oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Meteri Agama RI.

Bersamaan dengan upacara peresmian tersebut, dilaksanakan pula pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Setelah pelantikan para Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi pembekalan dan sosialisasi tentang eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

PERESMIAN OPERASIONAL KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Meskipun telah diresmikan secara langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003, namun Mahkamah Syar’iyah masih menemukan kendala untuk melaksanakan kewenangannya, khususnya dalam bidang jinayat, dimana kejaksaan sebagai penuntut umum belum memiliki dasar hukum untuk melakukan penuntutan ke Mahkamah Syar’iyah, karena dalam melaksanakan tugas fungsionalnya, kejaksaan berpedoman kepada KUHAP yang antara lain telah mengatur hubungan kerja Kejaksaan dengan Peradilan Umum dalam penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu lah Tim Interdep persiapan pembentukan Mahkamah Syar’iyah di pusat dan daerah mempersiapkan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut diparaf oleh 9 anggota Tim dari Lembaga terkait, dan diteruskan ke Presiden oleh Menteri Dalam Neger (Menko Polkam ad Interm) dengan suratnya tanggal 19 Februari 2004 Nomor 180/404/SJ.

Pada tanggal 30 Maret 2004 Tim dari Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, masing-masing Drs. Soufyan M. Saleh, SH. Drs. H. Sayuti Is, MM. Prof. Dr. Alyasa Abubakar, MA. A. Hamid Zein, SH. Syahrul Ali, SH., MH dan Anwar Efendi, SH. Sesuai dengan surat penugasan dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (tanggal 27 Maret 2004, Nomor 019.3/0087) mengadakan audiensi dengan Kepala Biro Hukum Sekretariat Negara RI yang diterima oleh Bapak Sudibyo, SH (Direktorat Perundang-undangan), staf Ahli Mendagri dan Kepala Biro Hukum Skretariat Kabinet di Kantor Sekretariat Kabinet.

Dari audiensi tersebut dijelaskan, bahwa memang benar usulan draf RPP pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang diajukan ke Presiden oleh Mendagri sudah diterima disekretariat Kabinet. Selanjutnya atas bantuan salah seorang staf Mendagri Tim audiensi depertemukan langsung dengan Menseskab Prof. Herman Rajagukguk, SH. Diruang kerjanya, bahwa sehubungan dengan permasalahan tersebut beliau menjelaskan, bahwa Insya Allah beliau akan mempelajari draf RPP tersebut dan dalam waktu akan dibahas oleh Tim Tehnis terkait Tim dari Aceh nanti juga akan diikut sertakan.

Setelah beberapa bulan menunggu, ternyata belum ada realisasi, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Mei 2004 menyurati kembali dan menanyakan ke Presiden sejauh mana sudah proses Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut menjadi Peraturan Pemerintah (Surat Gumbernur selaku PDSD tanggal 28 Mei 2004 Nomor : 330/23F-PDSD/2004).

Untuk itu Sekretariat Kabinet memberikan tanggapan terhadap usul Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu dengan suratnya tanggal 7 Mei 2004 antara lain disampaikan sebagai berikut :

  1. Tanggal 21 April 2004 telah dilakukan pertemuan di Sekretariat Kabinet yang dihadir oleh wakil-wakil dari Tim Interdep (Mahkamah Agung, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, dll).
  2. Disepakati oleh Tim Interdep bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak diperlukan mengingat  substansinya telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan termasuk mengenai pelaksanaan wewenang kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan pada Peradilan Syari’at  Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  3. Kewenangan tersebut semakin jelas dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (2) undang-undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Menjawab surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 28 Mei 2004, Sekretaris Kabinet dengan suratnya tanggal 10 Juni 2004 B.53/Waseskab/00/2004 memberikan penjelasan, yang isinya juga sesuai dengan surat penjelasan yang disampaikan Menko Bidang Politik dan Keamanan Ad Interm.

Jawaban dari Sekretariat Kabinet tersebut mementahkan kembali Rancangan Peraturan Pemerintah yang sudah disusun demikian matang oleh Tim Interdep, sehingga Tim penyembangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kembali mengadakan rapat konsultasi terutama dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si pada tanggal 29 Juli 2004, yang dihadiri oleh anggota Muspida dan Dinas terkait disepakati bahwa meskipun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak diperlukan oleh Sekretariat Kabinet, namun Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam tetap memperjuangkan kembali agar usul Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut agar disahkan menjadi Peraturan Pemerintah sebagai payung hukum bagi Kepolisian dan Kejaksaan di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sambil memperjuangkan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam akan mengundang Ketua Mahkamah Agung RI untuk meresmikan pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah diresmikan satu setengah tahun yang lalu, dan peresmian tersebut direncanakan bersama dengan pembukaan PKA ke IV, yaitu tanggal 19 Agustus 2004.

Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didampingi oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Kepala Dinas Syari’at Islam dan Kepala Biro Hukum, pada tanggal 13 dan 16 Agustus 2004 mengadakan kosultasi dan menyampaikan Undangan kepada Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI menyatakan pada prinsipnya dapat mengabulkan harapan dan Undangan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, tapi tidak pada tanggal 19 Agustus 2004 karena bersamaan dengan hari ulang tahun Mahkamah Agung RI.

Dalam pertemuan konsultasi berikutnya atas undangan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam disepakati bahwa peresmian operasional Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan pada tanggal 11 oktober 2004 hari senin di Banda Aceh, dengan mata acara pokok antara lain :

  • Pembacaan Surat Keputusan Mahkamah Agung RI
  • Pembacaan Surat Keputusan Bersama Lembaga Penegak Hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.
  • Penandatanganan Naskah Peresmian Operasional Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Agung akan mengelurkan SK Ketua Mahkamah Agung tentang pelimpahan sebagaian kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah. Adapun naskah peresmian dipersiapkan bersama-sama antara Tim Daerah dengan Tim Pusat.

Alhamdulilah atas izin Allah SWT pada hari senin tanggal 11 Oktober 2004 acara peresmian operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan di Anjong Mon Mata, yang dihadiri oleh Ulama, tokoh Masyarakat, Anggota DPRD tingkat I dan undangan lainya.

Dari Kabupaten/Kota hadir sebagian Bupati, Kapolres, Kajati, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Mahkamah Syar;iyah, Ketua MPU dan Kepala Dinas Syari’at Islam. Dll.

Dalam acara tersebut turut memberikan sambutan setelah laporan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam adalah Ketua Tim Interdep pembentukan Mahkamah Syar’iyah diwakili oleh (Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, SH), wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Kapolri yang diwakili oleh Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepala Kejaksaan Agung yang diwakili oleh Kajati Nanggroe Aceh Darussalam, serta bimbingan pengarahan dan peresmian oleh Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, SH.